Taman Hutan Raya (TAHURA) Ir. H. Djuanda Bandung

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda (Tahura Djuanda) merupakan kawasan konservasi yang terpadu antara alam sekunder dengan hutan tanaman dengan jenis Pinus (Pinus merkusil) yang terletak di Sub-Daerah Aliran Sungai Cikapundung dan DAS Citarum yang membentang mulai dari Curug Dago, Dago Pakar sampai Curug Maribaya yang merupakan bagian dari kelompok hutan Gunung Pulosari.

Tahura Djuanda terletak di sebelah utara Kota Bandung berjarak kurang lebih 7 km dari pusat kota, secara geografis berada pada 1070 30’ BT dan 60 52’ LS, secara administrasi berada di wilayah Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung dan sebagian masuk Desa Mekarwangi, Desa Cibodas, Desa Langensari, dan Desa Wangunharja, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat serta Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung.

Berdasarkan hasil rekonstruksi tata batas Tahura Djuanda tahun 2003, luasnya adalah 526,98 ha.

Sejarah

Taman terbesar yang pernah dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda ini pada awalnya merupakan hutan lindung dengan nama Hutan Lindung Pulosari dengan luas 590 ha. Perintisannya dimulai tahun 1912 bersamaan dengan pembangunan terowongan penyadapan air Sungai Cikapundung, sekarang dikenal sebagai “Gua Belanda”, yang peresmiannya dilakukan tahun 1922.

Sejak Indonesia merdeka, kawasan Hutan Lindung Pulosari ini otomatis menjadi aset pemerintahan Republik Indonesia yang dikelola oleh Djawatan Kehutanan.

Gubernur Jawa Barat Mashudi pada tahun 1960 menggagas Taman Hutan Wisata Alam yang sekaligus Kebun Raya.

Untuk mengenang jasa-jasa seorang tokoh Jawa Barat Ir. H. Raden Djoeanda Kartawidjaja, Perdana Menteri Indonesia ke-10 yang meninggal tahun 1963, maka Taman Hutan Kota tersebut pada tanggal 23 Agustus 1965 diresmikan oleh Gubernur Mashudi dan diberi nama menjadi Kebun Raya Rekreasi Ir. H. Djuanda, yang kemudian dikelola oleh Djawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat.

Tahun 1978 pengelolaan dari Djawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat diserahkan ke Perum Perhutani Jawa Barat.

Pada tahun 1980 Kebun Raya/Hutan Wisata yang merupakan bagian dari komplek Hutan Gunung Pulosari ini ditetapkan sebagai taman wisata, yaitu Taman Wisata Curug Dago seluas 590 ha yang ditetapkan oleh SK. Menteri Pertanian Nomor: 575/Kpts/Um/8/1980 tanggal 6 Agustus 1980.

Pada tahun 1985, Mashudi dan Ismail Saleh sebagai pribadi dan Soedjarwo selaku Menteri Kehutanan mengusulkan untuk mengubah status Taman Wisata Curug Dago menjadi Taman Hutan Raya.

Usulan tersebut kemudian diterima Presiden Soeharto yang kemudian dikukuhkan melalui Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1985 tertanggal 12 Januari 1985. Peresmian Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda dilakukan pada tanggal 14 Januari 1985 yang bertepatan dengan hari kelahiran Ir. H. Djuanda. Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda sebagai Taman Hutan Raya pertama di Indonesia.

Untuk menjamin susksesnya pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor: 192/Kpts-II/1985 membentuk Badan Pembina Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda yang diketuai oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) serta menunjuk Perum Perhutani sebagai Badan Pelaksana Pengelolaan dan Pembangunan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda.

Flora dan Fauna

Tahura Djuanda memiliki tipe vegetasi hutan alam sekunder yang didominasi oleh jenis pohon Pinus (Pinus merkusii), Kaliandra (Calliandra callothyrsus), Bambu (Bambusa sp.) dan berbagai jenis tumbuhan bawah seperti tumbuhan Teklan (Euphatorium sp.). Pada tahun 1963 berbagai jenis tanaman kayu asing yang berasal dari luar daerah dan luar negeri, ditanam pada lahan seluas 30 ha di sekitar plaza dan gua yang terdiri dari 40 famili, 112 species dengan jumlah diperkirakan 2.500 pohon.

Fauna yang terdapat di dalam kawasan Tahura Djuanda antara lain Musang (Paradoxurus herma paproditus), Tupai (Callosciurus notatus), Kera (Macaca insularis) serta berbagai jenis burung seperti Kepodang (Oriolus chinensis), Ketilang (Pycnontus caferaurigaster) dan Ayam hutan (Gallus gallus bankiva).

Objek Wisata di Tahura Djuanda

Selain hutan alaminya dan untuk berolah-raga lintas alam, di Tahura Djuanda juga terdapat objek wisata lainnya.

Gua Belanda

Gua Belanda ini letaknya sekitar 500 meter dari pintu masuk utama Tahura Djuanda. Gua yang menjadi salah satu peninggalan kolonial Belanda ini bukan termasuk gua alam, karena ini dibuat  manusia. Pada awalnya gua yang di bangun pada tahun 1901 ini dipergunakan untuk perusahaan yang bergerak dibidang pembangkit listrik tenaga air. Namun, pada tahun 1918 Belanda melakukan renovasi dengan menambah lorong dan koridor dalam gua yang berada di daerah Dago Pakar ini. Letaknya yang strategis dan tersembunyi, kemudian menjelang Perang Dunia II awal tahun 1941, Belanda menjadikan terowongan ini sebagai benteng atau markas militernya. Dalam terowongan tersebut mereka membangun jaringan gua sebanyak 15 lorong dan 2 pintu masuk setinggi 3,2 meter. Luas pelataran yang dipakai gua seluas 0,6 hektar dan luas seluruh gua berikut lorongnya adalah 547 meter. Di dekat mulut terowongan pun dibangun semacam pos untuk mengawasi daerah sekitarnya. Saluran atau terowongan berupa jaringan gua di dalam perbukitan ini kemudian dinamakan Gua Belanda.

Gua Jepang

Berjarak 300 m dari Gua Belanda, Gua Jepang ini didirikan oleh militer Jepang tahun 1942 untuk dijadikan barak militer dan perlindungan. Gua Jepang memiliki empat pintu masuk dan dua lubang penjagaan. Terdapat 18 bunker yang masih dalam keadaan sama seperti aslinya. Bunker – bunker ini pun memiliki fungsi yang berbeda – beda, misalnya sebagai tempat pengintaian, tempat penembakan, ruang pertemuan, gudang dan dapur. Bunker – bunker ini dibangun dengan jarak berdekatan, sekitar 30 meter.  Konon, untuk membangun Goa Jepang ini, militer Jepang memanfaatkan masyarakat Indonesia secara paksa atau kita kenal dengan Romusa.

Tebing Keraton

Tebing Keraton adalah sebuah tebing yang berada di ketinggian 1200 m dpl dan masih termasuk di dalam kawasan Tahura Djuanda. Tempat ini menjadi begitu terkenal di media sosial karena disana pengunjung dapat menikmati pemandangan hijaunya Tahura Djuanda yang menghampar luas sepanjang mata memandang. Tempat ini mulai dikenal di media sosial kurang lebih bulan Juli 2014, karena keindahannya. Tidak jarang pula orang menyebut area tebing keraton sebagai bukit instagram, karena banyaknya pengguna medsos yang posting foto tebing keraton di instagram.

Tebing Keraton ini menyajikan hamparan luas jalur patahan Lembang, hutan yang begitu lebat yang kadang diselimuti kabut tipis. Dari atas Tebing Keraton juga bisa melihat pemandangan kala sunrise dan sunset yang indah. Dari sejarahnya, yang terpampang di sebuah papan kecil di Tebing Keraton, tebing ini sebenarnya sudah ada sejak dari dulu. Dulu oleh warga sekitar dikenal dengan nama Karang Jontor. Karena tebing ini lebih mirip dengan bentuk sebuah karang yang menjorok ke depan.

Untuk masuk ke Tebing Keraton, tiketnya terpisah dari tiket Tahura Djuanda yaitu sebesar Rp 11.000/orang sudah termasuk asuransi. Untuk parkir motor dikenakan biaya Rp 5.000 sedangkan untuk mobil Rp 10.000.

Curug Omas

Curug Omas merupakan air terjun yang memiliki ketinggian mencapai 30 meter dengan kedalaman air mencapai 10 meter di Tahura Djuanda. Curug Omas merupakan sebuah titik pertemuan dari dua aliran sungai yaitu sungai Cikawari dan sungai Cigulun. Kedua aliran sungai ini bertemu di satu titik dan nantinya akan bersatu menjadi aliran sungai Cikapundung Hulu. Di atas air terjun ini terdapat sebuah jembatan yang bisa digunakan untuk melintas serta melihat air terjun dari atas.

Selain Curug Omas di aliran sungai ini juga terdapat Curug Cigulung, Curug Cikawari dan Curug Cikoleang yang masing-masing memiliki ketinggian sekitar 15 m, 14 m dan 16 m. Ketiga curug ini dikenal dengan nama sebutan Curug Maribaya. Di kawasan ini juga terdapat sebuah curug lain yaitu Curug Lalay yang lokasinya tidak jauh dari Curug Omas.

Curug Dago

Curug Dago berada di ketinggian 800 meter di atas permuakaan laut. Tinggi air terjunnya sekitar 12 meter. Curug Dago merupakan warisan alam yang terbentuk dari aliran lava letusan Gunung Tangkuban Perahu pada 125 ribu dan 48 ribu tahun silam. Dalam Buku Bandung Purba yang ditulis Anggota Masyarakat Geografi Indonesia, T. Bachtiar dan Dewi Syafriani menyebutkan, berdekatan dengan Curug Dago terdapat kaldera bekas letusan Gunung Sunda. Bekas letusan gunung api purba itu menjadikan Curug Dago dan sekitar sebagai sumber air bagi kawasan hilir Bandung.

Di Curug Dago terdapat dua prasasti peninggalan Raja Siam yang pernah berkunjung ke sini yaitu Prasasti Chulalangkom dan Prasasti Pradjathipok yang ditulis dengan menggunakan aksara Thailand. Kedua prasasti tersebut berhubungan dengan kunjungan Raja Siam yaitu Raja Chulalongkorn serta Pangeran Prajatthipok Paramintara, yang masing-masing merupakan raja ke V dan VII dari Dinasti Chakri. Tertulis dalam prasasti itu, Raja Rama V mengunjungi Curug Dago sekitar tahun 1896, lalu kembali ke tempat yang sama pada tahun 1901. Pada kunjungannya yang kedua, sang raja kembali menulis di atas batu prasasti. Raja Rama V menuliskan paraf dan tahun Rattanakosin, Era 120 (Bangkok). Prasasti kedua ditulis oleh Raja Rama VII dalam kunjungannya pada tahun 1929. Prasasti ini juga menjadi agenda napak tilas sang cucu, Raja Rama VII ke Curug Dago.

Sumber: Wikipedia

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Taman Hutan Raya (TAHURA) Ir. H. Djuanda Bandung"

Posting Komentar